Not Only...But Also...
Tak pernah terbayang olehku jika seseorang yang aku
kagumi meninggalkanku. Dia adalah orang
yang kali pertama dapat membuatku kagum. Bodohnya aku, sampai saaat ini, aku
belum tahu namanya. Pertemuanku dengannya selalu diwarnai dengan kejadian yang
memalukan.
Entah bagaimana
awalnya aku dapat mengagumi seorang laki-laki
lebih dari aku mengagumi seorang aktor Taiwan , aku hanya tahu dia sangat
berbeda dari kebanyakan laki-laki. Dia adalah seorang yang sangat baik, lembut,
supel, dan sopan. Setelah aku bercerita kepada Arta tentang hal tersebut, Arta
sampai tekejut dibuatnya, dia tidak percaya seorang Lily pernah mengagumi
seorang laki-laki sampai sekarang? Arta malah menjadikan ceritaku ini sebagai
bahan untuk menulis cerpennya. Dasar penulis mania.
Hahaha…. Lucu
juga kalau dingat, aku adalah orang terkenal tidak mudah mengagumi bahkan
mencintai seseorang, aku pun adalah orang yang pendiam serta tidak suka
menceritakan hal pribadi kepada orang lain kecuali kepada teman dekatku,Arta
karena aku takut mereka tidak akan menepati janji – tidak akan mengatakan
rahasia itu kepada orang lain.
Sebut saja Mas Boy - panggilan yang kuberikan untuknya.
Mas Boy adalah seorang siswa salah satu SMK di kotaku. Dia adalah seoarang anak
yang tinggal di rumah gurunya yang bernama Bu Atik dan kebetulan Bu Atik adalah
tetanggaku. Kalau zaman sekarang, Bu Atik bisa disebut orang tua asuh dari Mas
Boy. Pertama kali aku bertemu dengan Mas Boy adalah ketika aku akan berangkat
ke sekolah, kebetulan hari itu aku bangun kesiangan sehingga aku terburu-buru
untuk berangkat sekolah. Karena sangat tergesa-gesa, aku tidak tahu apa yang
ada disekelilingku, sampai-sampai aku tesandung batu yang cukup besar dan aku terjatuh
persis di depan Mas Boy yang juga akan berangkat ke sekolah. Mas Boy yang
melihatku terjatuh, langsung menolongku tanpa berpikir panjang, dia langsung
mengulurkan tangannya bermaksud membantuku berdiri namun aku tidak
menyambutnya.
“ Maaf, kita bukan mukhrim. Saya bisa berdiri sendiri,
terima kasih atas pertolongannya ”
Mas Boy yang mendengar kata-kata itu langsung menarik
tangannya dan meminta maaf padaku ,” Oh, maaf saya kira kamu butuh bantuan. “
“ Eh maaf saya
terburu-buru udah telat nih. Sekali lagi terima kasih ya.”, aku mengatakannya
dengan tergesa-gesa. Aku segera berlari karena takut terlambat, mana aku tidak
diantar kakakku terpaksa aku naik angkutan umum untuk berangkat ke sekolah
Untunglah, aku belum terlambat. Aku masuk ke kelas dan duduk di samping Arta.
“ Eh Lily, pasti sebentar lagi bel. Hahaha…!”, kata Arta
dengan nada mengejek.
“ Tet…. Tet…. Tet…. “, bel tanda jam pelajaran pertama dimulai sudah
berbunyi.
“ Tu kan
benar?”, Arta berbicara sambil menunjuk mukaku.
“Ini tempat pensil kalau kena kepala kayaknya sakit ya
?”, kataku sambil mengeluarkan tempat pensil dari tasku.
“ Iya iya, aku kan
cuma bercanda.” , Arta berkata sambil memegang bahuku – mencoba menenangkan.
“Eh, udah ada Pak Mahmud tuh !”,
“ Tet….Tet….Tet….”, bel tanda pelajaran telah selesai
sudah berbunyi,senang rasanya bisa langsung pulang ke rumah. Biasanya jam 16.00
baru pulang karena mengerjakan tugas. Seperti biasa, aku pulang bersama Arta
karena jalur angkutan umum yang kami naiki sama walaupun kami tidak turun di
tempat yang sama. Sejak Arta pindah ke
rumah neneknya, Arta jadi turun lebih awal daripada aku. Padahal, dulu aku yang
turun lebih awal daripada Arta. Kadang-kadang aku merasa kesepian karena tidak
ada Arta untuk diajak mengobrol di dalam angkot.
“ Uh, akhirnya sampai rumah juga. “, kataku sambil
meletakan tas dan kemudian membaringkan tubuhku ke tempat tidurku yang empuk.
Tak terasa aku ketiduran karena kecapaian. Untung saja Ibuku membangunkanku
untuk beribadah kalau tidak bisa berlanjut nih tidurnya. Hehehe….
“ Eh Lily, bantu Ibu membuat kue ya?
“ Tumben, Ibu membuat kue. Memangnya ada acara apa sih?
“ Enggak, cuma buat tetangga baru kita, Bu Atik,
sekalian silaturahmi kan ?
“ Oh, ada tetangga baru ya? Aku malah nggak tahu.”
“ Ah kamu itu. Kapan kamu mau keluar dan beramain dengan
teman-teman sebayamu? Kerjamu cuma di rumah dan membaca buku.”
“ Ibu, maklumilah anakmu ini.”
“ Eh… ?”
Akhirnya kue sudah matang. Sebelum membungkusnya, aku
menunggu kue sampai dingin sambil mengkhayal. Maklumlah aku ini gadis
pengkhayal. Setelah kuenya dingin, aku membungkusnya dan memakai jilbab.
“Tok…Tok…Tok….”, aku mengetuk pintu sekuat tenaga sampai
tanganku memerah.
Terdengar suara berat dan langkah kaki dari dalam rumah.
Seseorang yang mempunyai berat itu segera membuka pintu.
“ Eh, ada tamu. Hmm…. Bukannya kamu cewek yang jatuh
tadi pagi ya?”
“ Hehehe…. Iya bukan ya?”, pipiku pasti memerah karena
malu.
“ Sudahlah, silakan masuk., kata Mas Boy sambil membuka
lebar pintu yang tadinya setengah terbuka. “ Silakan duduk, sebentar ya saya
panggil Ibu dulu. Mau minum apa?”
“ Eh nggak usah repot-repot saya cuma sebentar kok!”
“ Eh Lily putri Bu Astrid. Ada apa ya?”, Bu Atik tersenyum kepadaku.
“ Ini Bu ada kue dari Ibu. ”
“Eh kok repot-repot, terima kasih.”
“ Iya sama- sama Bu. O ya Bu, saya mau pamit.
“ Kok terburu-buru sih ? Kapan-kapan main ke sini lagi
ya?”
“Iya Bu. Permisi Bu.”
“Ya mari.”
Kesokan harinya, aku juga bangun kesiangan seperti
kemarin . Seperti biasa, aku berlari untuk berangkat ke sekolah untunglah,
tidak jatuh seperti kemarin. Aku tidak memperhatikan keadaan di sekitarku, ada
apa , ada siapa, tak kuhiraukan, kecuali kendaraan yang berisik dibelakangku.
Sampai di sekolah ya sama saja, aku selalu menjadi tanda kalau bel akan
berbunyi. Pelajaran di sekolah terasa sangat lama dan membosankan hari ini. Aku
berpikir mengapa hidupku begini-begini aja ya? Berangkat sekolah, belajar,
megerjakan tugas, tidur, besoknya itu lagi, dan selalu begitu. Bosan dengan
hidup yang seperti itu, seperti tak ada warna yang menghiasi hidupku. Apalah….
Sore harinya, aku disuruh Ibuku membawa radio
kesayangannya ke tukang reparasi untuk dibenarkan. Aku langsung menuju ke
tempat reparasi yang tekenal baik di ujung jalan. Sesampainya di sana , aku lansung disambut
oleh wajah yang tak asing algi bagiku – wajah yang kutemui kemarin. Aku malu
dibuatnya.
“ Wah ternyata dunia ini sempit ya?”
“ Iya, kita kan
masih di satu daerah pasti kita sering bertemu.”
“ Tidak, ini adalah sebuah kebetulan.”
“ Kebetulan apa? Aku tak percaya sama yang namanya
kebetulan.”
“ Benarkah?”, mata Mas Boy menatap tajam mataku. Aku
langsung menundukkan pandanganku.
“ Eh sudahlah. Mana tukang reparasinya?”
“ Di depan kamu.”
“ Mana?”
“ Aku .”
“ Oh kamu. Ini, tolong ya? Kira-kira berapa jam ya
memperbaikinya?”
“ Ah, cuma 30 menit. Mau ditunggu?”
“ Boleh lah, daripada di rumah nggak ada kerjaan.”
Setelah 30 menit berlalu, akhirnya radio kesyangan Ibuku
sudang selesai diperbaiki. Baru kali ini aku tidak bosan jika menunggu. Aku
diajak mengobrol oleh Mas Boy, mulai dari mengobrol tentang sekolah hingga
kesukaan masing-masing dari kami. Senang sekali rasanya diajak ngobrol Mas Boy
karena dia seperti Arta yang nyambung jika diajak ngobrol. Setelah selesai, aku
langsung pulang karena ditelpon oleh Ibu disuruh cepat-cepat pulang karena ada
suatu hal. Aku memberikan uang kepada Mas Boy namun Mas Boy menolaknya dengan
alasan untuk pelanggan terakhir hari ini. Tanpa berpikir panjang, aku langsung
memasukkan uang kembali ke sakuku. Aku mengucapkan terima kasih dan berlari
menuju rumah. Aku akan berhati-hati kali ini namun kejadian kemarin tak
terhindarkan – aku jatuh lagi. Cerobohnya aku, kali ini sampai kakiku terkilir.
Mas Boy melihatnya dan segera menolongku mamun segera aku menolaknya dengan
alasan yang sama - bukan mukhrim. Aku mencoba berdiri, Mas Boy tetap
memandangiku dengan tatapan yang aneh karena menahan tawa.
“ Aduh, kakiku sakit !”, aku mencoba berdiri namun aku
tak kuat, sepertinya kakiku terkilir.
“ Udah deh nggak usah pakai “menggayaisme”. Sini aku
tolong. Mau nggak?”
Aku diam saja pada waktu Mas Boy memapahku dan
membantuku duduk di kursi. Mas Boy bermaksud untuk mengantarku karena tak
mungkin aku pulang berjalan kaki dengan keadaan seperti ini. Dia langsung
membenahi dan memasukkan peralatan kerjanya.
Setelah itu, dia memapahku untuk naik ke motornya. Entah apa yang aku
rasakan, melihatnya lebih dekat membuat jantungkku berdegub kencang. Aku
khawatir dia dapat merasakannya. Sesampainya di rumah, Mas Boy membantuku turun
dan memapahku sampai ke ruang tamu. Ibu yang melihat keadaanku yang seperti itu,
sangat terkejut ingin marah namun juga kasihan melihat putrinya kesakitan.
“ Lily tidak apa-apa kok. Cuma terkilir. Nanti Lily
ceritakan.”
“ Makasih ya Nak telah mengantar Lily sampai ke rumah.”,
kata Ibuku dengan mata yang berbinar-binar
“ Sama-sama Bu. O ya bu saya langsung pamit ya karena
masih ada pekerjaan. Cepat sembuh Lily, duluan ya ? Mari Bu!”
Aku hanya mengangguk karena masih malu karena terjatuh
dan merepotkan Mas Boy.
Sejak saat itulah aku dekat dengan Mas Boy. Mas Boy
sering datang ke rumahku untuk sekedar mendengarkan curhatku yang membosankan. Awalnya
hanya perasaan simpati namun lama kelamaan menjadi perasaan kagum. Ini adalah kali
pertama aku kagum dengan seorang laki-laki. Sampai suatu saat, Mas Boy tak
pernah datang ke rumahku dan aku tak pernah melihat dia keluar dari rumah untuk
berangkat ke sekolah. Aku merasa kesepian karena tak ada Mas Boy – tak ada
seorang teman laki-laki yang siap mendengar curhatanku. Aku tak tahan lagi dan
hari itu juga aku datang ke rumah Bu Atik untuk menanyakan keberadaan Mas Boy.
Setelah mendengar Mas Boy telah pulang ke kampung halamannya, perasaanku
hancur, dadaku sesak seperti orang yang kehabisan napas.
Sejak Mas Boy pergi dari kehidupanku, warna kehidupanku
seakan lenyap, kehidupan terasa membosankan seperti sebelum Mas Boy datang ke
kehidupanku. Aku rindu Mas Boy. Aku menyadari keberadaan Mas Boy sangat berarti
bagiku. It must have been love - yang
dahulu tenyata namanya cinta - aku baru menyadarinya sekarang, setelah Mas Boy
pergi. Aku tetap berharap dapat bertemu Mas Boy suatu hari nanti.
“Kemarau sepanjang tahun dihapus hujan sehari ”, itulah
peribahasa yang cocok bagiku. Walaupun
begitu, life must go on, aku tidak
menyesal dengan diriku sendiri.
0 comments:
Post a Comment