Melodi Kedua
Merah
Tak berbeda. Tempat itu bagaikan rumah hantu,
kumuh tak terawat. Ketika melewati lorong berlantai putih, Anung teringat akan
menuju kamar mayat. Lantai putihnya yang kotor banyak terdapat jejak kaki seseorang
yang tak memakai sandal ketika berjalan di lumpur. Suara musik gamelan
terdengar dari sisi kanan tembok rumah sakit. Pekerja yang bekerja tidak layak
disebut dokter dan perawat di sana, semua mengerikan - mukanya masam dan
terlihat sombong. Anung merapatkan tubuhnya dan menggandeng tangan kiri Mas
Pras.
Sejauh mata memnadang hanya terlihat sarang
laba-laba di sudut-sudut tembok, rumah sakit ini tak layak disebut sebagai
rumah sakit. Sampai akhirnya, Anung melihat cahaya di suatu titik di depannya.
Cahaya yang sangat terang, entah itu nyata atau hanya khayalannya semata.
“ Ayo anak-anak kita menuju ke cahaya itu.”, Ayah
mengajak Anung dan Mas Pras pergi ke sumber cahaya yang dilihat Anung, ternyata
cahaya itu bukan khalayan Anung. Suara sepatu mereka yang menghentak - hentak
terdengar sampai ke ruang sumber cahaya itu. Semakin lama fisik mereka semakin
dekat dengan ruangan bercahaya terang itu. Di depan ruangan yang dibatasi kaca
bening yang terlihat terawat, Anung dan
Mas Pras iam terpaku, matanya terbelalak, tak berkedip. Ruangan ini adalah
ruangan yang paling bersih iantara ruangan lain. Di sudut ruangan terdapat
hiasan berupa bunga warna-warni yang terbuat dari sedotan. Tepat di depan
mereka terlihat tubuh kecil yang lemah dan tak berdaya. Ia hanya dapat
menggeliat ke kanan dan kiri karena dibalut kain hijau yang membuatnya hangat,
mirip ulat. Semamburat merah terpancar dari wajahnya yang tak berdosa. Cantik
nian bayi itu.
Anung dan Mas Pras melihat bayi mungil nan cantik
itu tanpa berkedip selama sepersekian detik. Bayi itu membuat mereka terpesona
pada pandangan pertama.
“ Bagaimana? Apakah Lestari berbeda?”, tanya Ayah
mencaikan suasana.
“ Apa ini Lestari? Ternyata ia memang cantik dan
mempesona, berbeda.”, Mas Pras menjawab pertanyaan Ayah namun pandangannya tak
beralih dari tubuh merah nan mungil itu, terpesona pada pandangan pertama.
“ Hey Anung,
ia lebih lucu daripada kamu.”, pandangan mata Mas Pras beralih kepada Anung
yang sedang menikmati pemandangan indah yang ada di depannya.
“ Lestari masih bayi bukan tentu lebih lucu
daripada aku tapi jika dari segi kecantikkan lebih cantik aku.” Anung
mengalihkan pandangan dan menjawab ejekkan kakaknya itu.
“ Sudah, sudah. Kalian tak boleh ribut nanti
menganggu Lestari dan bayi-bayi lain.”, kata Ayah menenangkan Anung dan Mas
Pras yang suaranya seperti penyanyi sedang konser akbar. “ Ayo sekarang kita ke
kamar Ibu, apakah kalian tidak merindukannya?”
“ Tentu kami meridukannya tapi aku masih ingin
melihat Lestari. Aku ingin melihat seperti apa ia pada waktu tidur.”, pinta Mas
Pras.
“ Baiklah sampai ia tidur ya? Janji ?”
“ Pegang janji kami, Ayah!”, Anung menjawab dengan bersemangat walaupun
hari ini di kurang enak badan. Ternyata Lestari menjadi obat baginya dan bagi
keluarganya.
0 comments:
Post a Comment