Pages

Sunday, September 16, 2012


Melodi Kedua
Merah

Tak berbeda. Tempat itu bagaikan rumah hantu, kumuh tak terawat. Ketika melewati lorong berlantai putih, Anung teringat akan menuju kamar mayat. Lantai putihnya yang kotor banyak terdapat jejak kaki seseorang yang tak memakai sandal ketika berjalan di lumpur. Suara musik gamelan terdengar dari sisi kanan tembok rumah sakit. Pekerja yang bekerja tidak layak disebut dokter dan perawat di sana, semua mengerikan - mukanya masam dan terlihat sombong. Anung merapatkan tubuhnya dan menggandeng tangan kiri Mas Pras.
Sejauh mata memnadang hanya terlihat sarang laba-laba di sudut-sudut tembok, rumah sakit ini tak layak disebut sebagai rumah sakit. Sampai akhirnya, Anung melihat cahaya di suatu titik di depannya. Cahaya yang sangat terang, entah itu nyata atau hanya khayalannya semata.
“ Ayo anak-anak kita menuju ke cahaya itu.”, Ayah mengajak Anung dan Mas Pras pergi ke sumber cahaya yang dilihat Anung, ternyata cahaya itu bukan khalayan Anung. Suara sepatu mereka yang menghentak - hentak terdengar sampai ke ruang sumber cahaya itu. Semakin lama fisik mereka semakin dekat dengan ruangan bercahaya terang itu. Di depan ruangan yang dibatasi kaca bening yang terlihat terawat,  Anung dan Mas Pras iam terpaku, matanya terbelalak, tak berkedip. Ruangan ini adalah ruangan yang paling bersih iantara ruangan lain. Di sudut ruangan terdapat hiasan berupa bunga warna-warni yang terbuat dari sedotan. Tepat di depan mereka terlihat tubuh kecil yang lemah dan tak berdaya. Ia hanya dapat menggeliat ke kanan dan kiri karena dibalut kain hijau yang membuatnya hangat, mirip ulat. Semamburat merah terpancar dari wajahnya yang tak berdosa. Cantik nian bayi itu.
Anung dan Mas Pras melihat bayi mungil nan cantik itu tanpa berkedip selama sepersekian detik. Bayi itu membuat mereka terpesona pada pandangan pertama.
“ Bagaimana? Apakah Lestari berbeda?”, tanya Ayah mencaikan suasana.
“ Apa ini Lestari? Ternyata ia memang cantik dan mempesona, berbeda.”, Mas Pras menjawab pertanyaan Ayah namun pandangannya tak beralih dari tubuh merah nan mungil itu, terpesona pada pandangan pertama.
Hey Anung, ia lebih lucu daripada kamu.”, pandangan mata Mas Pras beralih kepada Anung yang sedang menikmati pemandangan indah yang ada di depannya.
“ Lestari masih bayi bukan tentu lebih lucu daripada aku tapi jika dari segi kecantikkan lebih cantik aku.” Anung mengalihkan pandangan dan menjawab ejekkan kakaknya itu.
“ Sudah, sudah. Kalian tak boleh ribut nanti menganggu Lestari dan bayi-bayi lain.”, kata Ayah menenangkan Anung dan Mas Pras yang suaranya seperti penyanyi sedang konser akbar. “ Ayo sekarang kita ke kamar Ibu, apakah kalian tidak merindukannya?”
“ Tentu kami meridukannya tapi aku masih ingin melihat Lestari. Aku ingin melihat seperti apa ia pada waktu tidur.”, pinta Mas Pras.
“ Baiklah sampai ia tidur ya? Janji ?”
“ Pegang janji kami, Ayah!”, Anung menjawab dengan bersemangat walaupun hari ini di kurang enak badan. Ternyata Lestari menjadi obat baginya dan bagi keluarganya. 
separador

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews

Categories

Followers