Pages

Wednesday, September 12, 2012


Melodi Pertama
Tak Dapat Diterka

Suara ayam jantan mengiringi menyamarkan suara adzan Subuh yang bersahutan, berlomba-lomba membangunkan orang-orang yang masaih asyik dengan mimpinya. Hawa dingin yang menusuk kulit seorang gadis memakai kembali selimut yang terbuat dari kain perca buatan ibunya. Kedua mata indah gadis itu enggan membuka bagaikan diberikan lem di kedua sisinya, berat.
Motor usang itu kembali mengembik selayaknya kambing tercekik. Tak seorang pun menghiraukan – masih berkelana di alam mimipinya – kecuali Anung, sebutan gadis cantik bermata indah itu. Mata yang tadinya enggan membuka, sekarang membuka tanpa halangan yang berarti. Terlintas dalam pikirannya “ ayah “. Seorang ayah yang biasa pergi ke sawah mencari rumput untuk sapi Pak Mukmin. Setelah suara itu lenyap, ia kembali menutup matanya mencoba untuk tidur.
Ayam jantan kembali berkokok. Sinar matahari menembus kaca jendela gubuk Anung yang tak bergorden itu, tepat pada mata Anung yang masih menutup. Perlahan-lahan Anung membuka mata dan duduk di ranjang reyot bekas neneknya itu. Pandangan Anung berkabut dan berputar-putar. Anung merasa ada yang mendesak dari dalam perutnya, mendesak semua makanan yang ia makan tadi malam. Anung tak kuat menahan kepala yang terasa berat itu.
Perasaan gelisah Anung memperparah keadaannya. Entah mengapa hati Anung merasa tidak tenang seperti biasanya. Dengan menyeret kakinya ia mengambil buku usang yang berisi jadwal kegiatan yang akan dilakukannya hari ini. Deretan huruf dan angka tak terbaca jelas olehnya. Ia membalik kertas dengan lambat sembari menunjuk kalimat yang ia cari. Anung berusaha keras untuk membaca tulisan itu namun selalu gagal. Lama-lama ia membuka halaman buku itu dengan cepat dan kasar sehingga meninggalkan luka sobek di bagian atas kertas halaman terakhir. Kemuian ia melempar buku ke tanah dan ia mulai menangis.
Ia sangat marah karena ia merasa sangat sakit hari ini. Ia menyalahkan diri sendiri karena jika ia sakit ia tidak bisa mencari koin-koin rupiah yang sangat berarti bagi kehidupan keluarganya. Anung sempat berpikir mengapa Tuhan menciptakannya sebagai orang yang tak mampu dan memiliki banyak kekurangan. Anung mersa sangat putus asa. Belum selesai ia berpikir suara ketukan pintu yang hampir roboh terdengar. Segera ia beranjak dari ranjang perlahan-lahan. Ia merambat dari tempat tidur sampai ke depan pintu. Langkah kaki mungilnya terseok-seok.
Suara derit pintu terdengar, menggelikan telinga – Anung membuka pintu yang telah rusak dimakan usia. Di balik pintu terlihat Bulik Atun dengan rona wajah gembira dan bersemangat.
“ Mbak Anung, adik Mbak Anung sudah lahir”
“ Siapa?”
“ Lestari. “
Anung diam seribu bahasa, tak dapat berkata apa-apa, rona wajah Anung bertambah pucat. Kakinya lemas tak kuat menahan berat tubuhnya. Sesekali ia akan terjatuh namun ia perpegangan pada daun pintu yang ada di sebelahnya. Mata lembutnya terbelalak, tak berkedip. Ia mulai tidak bisa berpikir jernih. Pikiran buruk simpang siur keluar masuk alam bawah sadarnya. Ia tak tahan jika harus memikirkannya sendirian. Matanya memerah karena menahan air mata yang sejak tadi mendesak kelopak mata Anung. Tiba-tiba butiran air mata Anung menetes, ia tak dapat menahan air mata kesedihannya. Perasaannya campur aduk tidak hanya ingin marah, kesal, tetapi juga sedih. Bebannya bertambah satu lagi. Bulik Atun yang melihat pemandangan yang kurang sedap itu hanya dapat menundukkan kepala, merasa bersalah.
Dari dalam gubuk terdengar suara berat seorang laki-laki. Suara itu menghampiri keributan yang dibuat oleh tangisan Anung dengan setengah berlari. Bayangan hitam besar itu semakin mendekat hingga akhirnya sampai di depan pintu tempat Anung dan Bulik Atun berada.
“ Ada apa, Anung?”, suara berat itu terdengar serak.
“ Begini Mas Pras, adik Mas Pras dan Mbak Anung,Lestari, sudah lahir.”, Bulik Atun masih tak mengubah posisi kepalanya. Mas Pras yang mendengar perkataan itu, menitihkan air matanya. Air mata tak dapat terbendung seperti air mata Anung.
“ Apa Bulik yakin?”, suara serak Mas Pras agak terisak.
“ Yakin, Paklik Usman yang memberitahu Bulik.”
“ Kalau begitu celakalah.”, Mas Pras menekuk lututnya dan menghampiri yang sedang menangis dengan keras. Mas Pras mengelus rambut gimbal Anung lalu menengadahkan tangan ke atas, berdoa. “ Ya Allah, mengapa kau anugerahkan adik perempuan bagi kami, ya Allah. Perempuan hanya menambah beban kami. Cobaan apalagi yang kau berikan ini, ya Allah.”
Motor usang itu kembali bersuara namun kali ini suaranya lebih mirip seperti singa yang mengaum karena pengendaranya terlalu bersemangat. Motor itu semaki lama semakin mendekati gubuk tempat Anung dan Mas Pras tinggal. Auman singa itu berhenti dan motor diparkir di depan gubuk yang beratapkan genteng tersebut. Pengendara turun dari motornya dengan tegap dan membusungkan dada.
“ Ayah, kenapa harus Lestari.”, Anung yang dari tadi  menangis memberanikan diri bertanya kepada ayahnya yang tegas.
“ Memang ada apa? Laki-laki dan perempuan itu sama saja, bukan?”, Ayah mengerti apa yang dimaksud Anung.
“ Tetapi Ayah berkata bahwa perempuan itu lemah dan hanya menambahkan beban bagi keluarga.”, Anung mengulang perkataan Ayah beberapa minggu lalu, tak ada kata-kata yang dirubah, semuanya sama.
“ Namun, bayi perempuan ini berbeda. Ayo ikut Ayah melihatnya.”, mencoba menyangkal perkataannya sendiri.
“ Bukankah semua bayi itu sama, kecil dan tak berdaya.”, Mas Pras menyambung pembicaraan Ayah dan Anung.
“ Benar, Ayah tidak bohong.”, Ayah menyakinkan lagi.
Anung dan Mas Pras ragu-ragu kepada perkataan ayah mereka. Untuk membuktikannya, mereka memutuskan untuk melihat adik barunya Lestari. Mereka pergi ke rumah sakit kota iantar ayah menggunakan motor usang yang masih dapat digunakan.
Dalam perjalanan Anung dan Mas Pras melihat pemandangan yang sangat indah namun pemandangan ini tidak dapat melunturkan perasaan gelisah mereka. Perasaan gelisah mereka bercampur dengan perasaan penasaran dan ketidaksabaran membuktikan perkataan Ayah.

Bersambung....

separador

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews

Categories

Followers